*RHENALD KASALI *
*Thursday, 15 July 2010*
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. *
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah
diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal
dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan
kepada saya dan
saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu
buruk, logikanya sangat sederhana. *
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah
diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru
yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.*
*Budaya Menghukum *
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang
anakanaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan
untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!" Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk
anak sebesar
itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat
menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa
Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran
berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang
nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia,
saya harus
menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji
yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan
mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.
Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan
penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan
begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat
dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan
penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering
saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan"
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. *
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap
seakan-akan
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang
luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat
saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan
discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan
pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan
saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di
Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di
sana mampu
menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke
pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita
mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di
depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya
tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk
bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia
mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang
berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
*Melahirkan Kehebatan *
Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan
hambatan dan rasa
takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus
yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita
dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...;
dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di
sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan
semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia
tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat
tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat
dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia
dapat tumbuh,
sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang
pintar dan
ada orang yang kurang pintar atau bodoh.*
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman
atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau
memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*) *
*RHENALD KASALI *
*Ketua Program MM UI*
*http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/338297/*
Sungguh .... kita masih memerlukan jutaan guru yang bisa meng-*encourage* ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar