Senin, 16 Mei 2011

Popularitas

kemarin, pada saat menonton salah satu TV swasta yang ada di Indonesia, saya cukup terkejut dan miris mendengar berita yang ditayangkan. Tayangan berita tersebut mengenai merosotnya popularitas presiden SBY. saya pribadi tidak berkaitan dengan Beliau maupun partainya, akan tetapi yang membuat saya miris adalah menurunya popularitas beliau berdasarkan hasil survey sebuah lembaga. dari hasil survey tersebut, dinyatakan bahwa popularitas sudah turun melewati angka psikologis, yaitu di bawah 50%. suatu angka yang tidak dapat dipandang ringan.

suatu hasil survey yang menyuarakan hati rakyat berasal dari 1200 responden. wow, ini yang menjadi sesuatu hal yang menggelitik perasaan saya. hanya dengan 1200 orang responden dari 33 propinsi di Indonesia, hasil tersebut di "claim" sebagai sebuah hasil survey nasional? saya tidak dapat berkata apa2. entahlah.... bayangkan saja, kalau 1200 orang dibagi menjadi 33 propinsi, artinya, masing-masing propinsi berjumlah berapa? mungkin antara 35-40 responden. kalau mau pakai angka rata-rata saja 1200:33 = 36.36... artinya apakah ini valid? apakah ini reliable? saya sendiri saja membuat survey mengenai stress warga Jakarta (baru Jakarta saja loh), responden yang saya ambil 412 orang. itu pun saya tidak dapat claim hasil nasional, hanya Jakarta. penelitian selanjutnya untuk skala nasional, lagi dicoba menjadi 3000 responden. itu pun, rasanya masih minim (maklum anggaran penelitian cuma sampai angka 3000). sedangkan salah satu seorang Prof saya, minimal 45000 orang kalau mau mengatakan skala nasional.

terlepas dari hal tersebut, saya jadi berpikir, betapa mudahnya membuat survey dan mengatakan "popularitas seseorang turun atau naik" belum lagi, kalau ditanya, apakah 1200 itu:
1. jenis kelamin (pria - wanita)
2. Pendidikan (SD-SMP-SMU-S1-S2-S3)
3. Pendapatan
4. Agama
5. Usia

kelima data kontrol diatas apabila dipakai, maka jumlah 36 orang responden per propinsi tersebut, haruslah dibagi lagi. apakah hal ini menjadi perhatian atau diacuhkan? mengapa saya berpikir seperti itu? karena salah satu sorotan dari survey adalah masalah ekonomi. pendapatan per kapita rakyat Indonesia adalah $3000/orang. memang tidak semua orang, akan tetapi sebagian kecil. kalau penelitian ini diberikan kepada individu-individu yang berpenghasilan seperti itu, apakah masih mengatakan ekonomi Indonesia seperti yang diungkapkan dalam survey tersebut? entahlah..

oleh karena itu, berhati-hatilah melihat suatu hasil penelitian atau survey. karena angka yang luar biasa fantastis tersebut memang benar adanya atau berlebihan.... ??? entahlah..

Senin, 09 Mei 2011

Sangkala dan Kaulan si Jantuk

Sabtu kemarin, ditengah gerimis yang tak kunjung reda, saya dan keluarga memutuskan untuk pergi ke sebuah pertunjukan teater di Jakarta. Kekhawatiran akan terjadinya kemacetan pun begitu kuat, mengingat Jakarta mudah sekali mengalami kemacetan apabila hujan turun sepanjang hari. Saat itu, jam menunjukan pukul 05.30….. saya hanya punya waktu untuk perjalanan yang tidak terlalu lama. Memang, pertunjukan baru akan dimulai pukul 08.00, akan tetapi, namanya kota Jakarta, kemacetan tidak dapat ditebak. Semoga saja 2 jam 30 menit merupakan waktu yang cukup untuk tiba di lokasi. Itu pun dengan catatan, tidak sempat untuk makan dan belum beli tiket.
Untungnya keadaan jalan sangat bersahabat. Kami pun tiba di lokasi pada pukul 07.00, sehingga masih ada waktu untuk membeli tiket dan makan malam. Sebuah pertunjukan teater tentang “pembantain Etnis Tionghoa” yang kami tonton. Pertunjukan yang diadakan oleh Ikatan Abang dan None Jakarta tersebut, menggunakan hampir 70 orang abang dan none se Jakarta. Acara dimulai dengan pertunjukan sand painting….. sebuah pertunjukan yang indah. Prolog dibuat dengan cara yang berbeda dan memberikan inspirasi kepada saya, semoga dapat saya gunakan untuk pertunjukan Phonia (phonia adalah nama grup teater di Fakultas Psikologi Untar, www.psikologi.tarumanagara.ac.id)
Setelah sand painting, acara yang cukup menarik ini diisi dengan beberapa penggunaan bahasa yang menurut saya sangat mengganggu. Para tokoh menggunakan bahasa Mandarin yang bukan bahasa sehari-hari. Saya melihat bahwa keinginan untuk mempertontonkan seperti aslinya memang bagus, akan tetapi, apakah semua penonton paham apa yang dibicarakan di atas panggung? Belum tentu, kan. Kemudian, muncul pula bahasa Belanda…. Menurut saya, ini sih agak berlebihan… (ada tiga karakter tokoh, orang Tionghoa, Betawi dan Belanda). Karena apakah semua penonton dapat memahami apa yang dibicarakan dalam bahasa Mandarin ataupun Belanda. Pertunjukan menjadi “hambar” rasanya. Belum lagi, tempat duduk yang sangat tidak nyaman bagi saya. Entah kenapa, rasanya malas sekali untuk melanjutkan menonton. Akan tetapi, rasa sayang bila meninggalkan ruangan juga saya rasakan.
Persaan sayang tersebut bukanlah karena sayang karena acaranya yang bagus, akan tetapi karena saya ingin bertemu dengan guru saya, yang menjadi koregrafer pertunjukan tersebut. Beliau meyuguhkan kurang lebih 22 karya tarinya sepanjang acara.
Sepanjang pertunjukan, ingatan saya melayang ke tahun 1994, saat saya mulai belajar tari Betawi di bawah asuhan beliau, Bang Atin panggilan kami, murid-muridnya kepada beliau. Hampir 5 tahun saya berguru dan berlatih tari betawi. Entah sudah berapa banyak karya tari beliau yang saya pelajari, seperti “njot-njotan, serondeng, topeng, rebana, dan yang paling heboh tentunya adalah pertunjukan di Teater Utan Kayu, “kaulan si Jantuk” namanya. Gerakan-gerakan penari yang saya tonton memperlihatkan bentuk tari “ciri” khas beliau.
Setelah pertunjukan sekitar pukul 11.30 malam, akhirnya, saya dapat berjumpa kembali dengan beliau. Lalu, banyak pula cerita-cerita lama yang diperbincangkan, hingga pada satu titik, keluar ucapan, “yuk kita buat lagi pertunjukan”gila” seperti yang kita buat dahulu…” ha.ha.ha. saya langsung ingin tertawa dan tertegun juga, sudah lama tidak menari nih… diajak menari lagi… tapi belum ada jawaban dari saya… hanya senyum

Selasa, 03 Mei 2011

5 faktor penghambat karir

Artikel ini saya ambil dari sebuah milis. semoga bermanfaat

Artikel: Buanglah 5 Faktor Penghambat Karir Anda!

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Setiap orang yang hidupnya bergantung kepada gaji adalah seorang buruh; sekalipun pangkatnya direktur utama. Mengapa para direktur tidak ikut-ikutan demonstrasi untuk memperingati tanggal 1 Mei sebagai hari buruh? Karena, orang yang karirnya bagus tidak lagi disebut buruh. Sedangkan mereka yang karirnya buruk, biasanya memang disebut sebagai buruh. Jika Anda seorang karyawan; maka pastikanlah bahwa Anda memang layak untuk tidak menyandang gelar sebagai buruh. Bagaimana caranya?

Sederhana saja; bangunlah karir Anda sampai ke titik dimana Anda layak dihormati dan dihargai tinggi. Agar bisa membangun karir dengan baik, maka Anda harus membuang jauh-jauh mental ‘b-u-r-u-h’. Mengapa demikian? Karena mental b-u-r-u-h itu menyimpan 5 faktor penghambat karir yang sangat mematikan. Apa sajakah kelima faktor itu? Berikut ini uraiannya.

1. B=Bersembunyi dibalik topeng ‘nasib’. Baik atau buruknya karir seseorang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nasib. Perhatikan para pekerja gagal. Mereka menganggap bahwa mandeknya karir dan bayaran mereka sudah menjadi nasib sehingga tidak terdorong untuk menggeliat bangkit dari posisi rendahnya. Walhasil, dari tahun ke tahun tidak ada perbaikan jabatan dan pendapatan signifikan yang mereka dapatkan. Jadilah karyawan yang berani berjuang untuk memperbaiki karir sendiri karena nasib selalu mengikuti ikhtiar yang Anda lakukan.

2. U=Ulet hanya ketika diawasi oleh atasan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak sekali karyawan yang ulet, gigih, dan giat hanya ketika ada atasannya saja. Tapi saat atasannya tidak ada; mereka berleha-leha atau mengerjakan sesuatu yang tidak produktif pada jam kerja. Para pegawai berdasi pun banyak yang memiliki perilaku seperti ini. Padahal, sikap seperti ini jelas sekali menunjukkan jika mereka tidak layak untuk mendapatkan tanggungjawab yang lebih besar. Jadilah karyawan yang bisa diandalkan, baik ada atau tidaknya atasan; karena kualitas seseorang dinilai dari tanggungjawab pribadinya ketika dia sedang sendirian.

3. R=Rendah diri. Kita sering keliru menempatkan kerendahan hati dengan sifat rendah diri. Ketika berhadapan dengan senior atau orang yang pendidikannya lebih tinggi, kita merasa kecil sekali. Padahal sebagian besar manager atau direktur pada mulanya adalah orang-orang yang menduduki posisi rendah seperti kebanyakan karyawan lainnya. Sifat rendah diri mengungkung orang dalam kotak inferioritas sehingga kapasitas dirinya tidak terdaya gunakan. Jadilah karyawan yang rendah hati, karena mereka yang rendah hati memiliki kualitas diri yang tinggi, namun tetap bersikap arif, positif dan konstruktif.

4. U=Unjuk rasa melampaui unjuk prestasi. Unjuk rasa tidak selalu harus turun ke jalan. Protes soal kenaikan gaji adalah contoh nyata unjuk rasa yang sering terjadi di kantor-kantor. Menggunjingkan atasan dan managemen di kantin atau toilet juga merupakan bentuk unjuk rasa yang tidak sehat. Perhatikan para karyawan yang tidak puas dengan kebijakan perusahaan. Mereka berkasak-kusuk sambil mengkorupsi jam kerja. Padahal, itu semakin menunjukkan kualitas buruk mereka. Jadilah karyawan yang rajin unjuk prestasi, karena prestasi membuka peluang untuk mendapatkan kesempatan dan pendapatan yang lebih besar.

5. H=Hitung-hitungan soal pekerjaan dan imbalan. Banyak sekali karyawan potensial yang akhirnya gagal membangun karirnya hanya karena merasa tidak dibayar dengan pantas. “Kalau gua digaji cuma segini, ngapain mesti kerja keras?’ begitu katanya. Padahal, sikap seperti itu tidak merugikan perusahaan lebih dari kerugian yang dialami oleh orang itu sendiri. Mereka membuang peluang untuk mengkonversi potensi dirinya menjadi karir yang cemerlang. Jadilah karyawan yang berfokus kepada kontribusi yang tinggi, karena bayaran atau imbalan akan mengikutinya kemudian.

Jika Anda mampu membuang mental ‘b-u-r-u-h’ yang sudah saya jelaskan diatas, maka Anda tidak akan menjadi buruh rendahan. Sebaliknya, Anda akan menjadi karyawan yang ketika pensiun nanti; memiliki sesuatu yang layak untuk dibanggakan.

Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman