Senin, 09 Mei 2011

Sangkala dan Kaulan si Jantuk

Sabtu kemarin, ditengah gerimis yang tak kunjung reda, saya dan keluarga memutuskan untuk pergi ke sebuah pertunjukan teater di Jakarta. Kekhawatiran akan terjadinya kemacetan pun begitu kuat, mengingat Jakarta mudah sekali mengalami kemacetan apabila hujan turun sepanjang hari. Saat itu, jam menunjukan pukul 05.30….. saya hanya punya waktu untuk perjalanan yang tidak terlalu lama. Memang, pertunjukan baru akan dimulai pukul 08.00, akan tetapi, namanya kota Jakarta, kemacetan tidak dapat ditebak. Semoga saja 2 jam 30 menit merupakan waktu yang cukup untuk tiba di lokasi. Itu pun dengan catatan, tidak sempat untuk makan dan belum beli tiket.
Untungnya keadaan jalan sangat bersahabat. Kami pun tiba di lokasi pada pukul 07.00, sehingga masih ada waktu untuk membeli tiket dan makan malam. Sebuah pertunjukan teater tentang “pembantain Etnis Tionghoa” yang kami tonton. Pertunjukan yang diadakan oleh Ikatan Abang dan None Jakarta tersebut, menggunakan hampir 70 orang abang dan none se Jakarta. Acara dimulai dengan pertunjukan sand painting….. sebuah pertunjukan yang indah. Prolog dibuat dengan cara yang berbeda dan memberikan inspirasi kepada saya, semoga dapat saya gunakan untuk pertunjukan Phonia (phonia adalah nama grup teater di Fakultas Psikologi Untar, www.psikologi.tarumanagara.ac.id)
Setelah sand painting, acara yang cukup menarik ini diisi dengan beberapa penggunaan bahasa yang menurut saya sangat mengganggu. Para tokoh menggunakan bahasa Mandarin yang bukan bahasa sehari-hari. Saya melihat bahwa keinginan untuk mempertontonkan seperti aslinya memang bagus, akan tetapi, apakah semua penonton paham apa yang dibicarakan di atas panggung? Belum tentu, kan. Kemudian, muncul pula bahasa Belanda…. Menurut saya, ini sih agak berlebihan… (ada tiga karakter tokoh, orang Tionghoa, Betawi dan Belanda). Karena apakah semua penonton dapat memahami apa yang dibicarakan dalam bahasa Mandarin ataupun Belanda. Pertunjukan menjadi “hambar” rasanya. Belum lagi, tempat duduk yang sangat tidak nyaman bagi saya. Entah kenapa, rasanya malas sekali untuk melanjutkan menonton. Akan tetapi, rasa sayang bila meninggalkan ruangan juga saya rasakan.
Persaan sayang tersebut bukanlah karena sayang karena acaranya yang bagus, akan tetapi karena saya ingin bertemu dengan guru saya, yang menjadi koregrafer pertunjukan tersebut. Beliau meyuguhkan kurang lebih 22 karya tarinya sepanjang acara.
Sepanjang pertunjukan, ingatan saya melayang ke tahun 1994, saat saya mulai belajar tari Betawi di bawah asuhan beliau, Bang Atin panggilan kami, murid-muridnya kepada beliau. Hampir 5 tahun saya berguru dan berlatih tari betawi. Entah sudah berapa banyak karya tari beliau yang saya pelajari, seperti “njot-njotan, serondeng, topeng, rebana, dan yang paling heboh tentunya adalah pertunjukan di Teater Utan Kayu, “kaulan si Jantuk” namanya. Gerakan-gerakan penari yang saya tonton memperlihatkan bentuk tari “ciri” khas beliau.
Setelah pertunjukan sekitar pukul 11.30 malam, akhirnya, saya dapat berjumpa kembali dengan beliau. Lalu, banyak pula cerita-cerita lama yang diperbincangkan, hingga pada satu titik, keluar ucapan, “yuk kita buat lagi pertunjukan”gila” seperti yang kita buat dahulu…” ha.ha.ha. saya langsung ingin tertawa dan tertegun juga, sudah lama tidak menari nih… diajak menari lagi… tapi belum ada jawaban dari saya… hanya senyum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar